BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kebahagiaan merupakan hal yang diidam-idamkan oleh setiap
manusia. Tak ayal jika manusia berbondong-bondong melakukan segala upaya dan
usaha yang bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan. Akan tetapi, kebahagiaan
untuk satu orang dengan orang lainnya tidaklah sama. Ada orang yang bahagia
karena keluarga yang harmonis, ada yang bahagia karena memiliki banyak harta,
ada yang bahagia karena pangkat dan kedudukannya, dan lain sebagainya. Seiring
dengan perkembangan zaman, sumber kebahagiaan orang mulai bergeser. Kebanyakan
manusia modern merasa bahagia jika mereka dapat memiliki materi yang banyak.
Terutama di zaman sekarang ini dikala pengaruh power now tidak mampu lagi kita bendung. Banyak produk-produk dari
luar dengan berbagai merk, teknologi-teknologi baru yang menggiurkan dan
mempermudah pekerjaan manusia, dan kegiatan-kegiatan kaum hedonis yang hanya
menampilkan sisi glamor dan kesenangan semata, membuat manusia merasa bahagia
jika mereka dapat memiliki uang yang banyak dan materi yang melimpah. Hal ini
terkadang membuat manusia melakukan persaingan-persaingan yang tidak sehat dan
justru dapat membuat mereka tidak bahagia. Lantas, timbulan pertanyaan,
benarkan kebahagiaan yang bergantung pada uang adalah kebahagiaan yang
sebenarnya? Untuk itu, penulis ingin mencoba menguraikan bagaimana filsafat
memandang arti suatu kebahagiaan.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas
adalah “bagaimana filsafat memandang suatu kebahagiaan yang sebenarnya?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan makalan ini adalah untuk
mendeskripsikan bagaimana filsafat memandang suatu kebahagiaan yang sebenarnya.
BAB II
ISI
A. Masyarakat
Memandang Bahagia
Jika kita berbicara tentang bahagia, tentunya hal tersebut tidak dapat
dilepaskan dari kondisi masyarakat saat ini. Kebahagian merupakan hal yang
esensial bagi manusia. Tanpa kebahagiaan, kehidupan manusia akan hampa dan
tidak ada keharmonisan dalam hidup. Banyak cara yang ditempuh agar manusia
dapat merasakan bahagia. Jika kita melihat pola kehidupan manusia modern saat
ini, kebanyakan merasa bahagia jika memiliki uang atau harta yang banyak.
Mereka bekerja keras siang dan malam agar kebutuhan mereka tercukupi, sehingga
mereka tidak akan takut akan hari esok dan mereka akan merasa bahagia. Akan
tetapi, dalam proses memperoleh kebahagiaan tersebut mereka justru mengorbankan
kebahagiaan lain yang ternyata lebih hakiki daripada sekedar harta. Dalam hal
ini, mereka sibuk bekerja dan mengabaikan keluarga, padahal berkumpul bersama
keluarga dan saling berbagi perasaan merupakan sumber kebahagiaan yang tak
ternilai harganya. Jika kita melihat fenomena ini, kita akan dapati bahwa
semakin mereka berusaha mencari kebahagiaan semakin mereka tidak akan
memperoleh kebahagiaan itu. Hal ini senada dengan pendapat Hendrik Ibsen
seorang filsuf dari Norwegia yang mengatakan bahwa kita belum mencapai bahagia
sebab tiap-tiap jalan yang ditempuh menjauhkan kita daripadanya. Jika kita
kaji, pendapat ini merupakan pendapat yang mengandung sikap putus asa. Akan
tetapi memang begitulah keadaannya jika manusia hanya mengejar harta untuk
memperoleh kebahagiaan.
Selanjutnya, dalam bekerja siang dan malam tersebut terkadang manusia
juga dihadapkan pada persaingan-persaingan agar dapat memperoleh keuntungan
maupun pendapatan yang lebih besar. Di dalam persaingan tersebut terkadang ada persaingan
yang tidak sehat sehingga bukannya kebahagiaan yang mereka peroleh melainkan
pikiran yang frustasi dan tekanan yang diperoleh dari berbagai arah. Hal ini
tentu sangat kontradiksi, usaha dan tujuan tidak searah.
Selain contoh di atas, dalam kehidupan sekolah biasanya orang tua akan
merasa bahagia jika anak mereka memperoleh nilai yang bagus dan berhasil
menjadi juara satu. Orang tua tidak menyadari bahwa ada hal yang lebih penting
yang seharusnya diperoleh oleh anak-anak mereka daripada hanya sekedar nilai
yang bagus dan peringkat yang membanggakan. Anak-anak sekolah untuk belajar,
dan belajar itu tidak melulu masalah nilai formal. Sopan santun, adab dalam
kehidupan, nilai-nilai kejujuran dan kebaikan, semua itu jauh lebih penting
daripada sekedar nilai yang bagus maupun juara satu. Lalu jika ditanya, apakah
anak-anak akan merasa bahagia jika mereka bisa mendapat juara satu tetapi tidak
memiliki teman? Ataukah orang tua akan bahagia jika anaknya mendapat nilai 100
di pelajaran matematika tetapi diperoleh dengan cara berbohong atau mencontek?
Tentu hal tersebut bukan merupakan sumber kebahagiaan yang sebenarnya.
Dari kedua contoh di atas, dapat dipahami bahwa sebenar-benar bahagia
itu terletak pada ranah normatif, bahagia itu masalah hati. Jika masyarakat
zaman sekarang memandang bahagia sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
material maupun formal, tentunya hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari
kebahagiaan itu sendiri. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh power now yang saat ini sudah mulai
masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Para ilmuan negara maju
menciptakan berbagai macam alat yang mempermudah pekerjaan kita, sehingga
manusia cenderung tergantung pada alat-alat tersebut dan tidak memanfaatkan
potensi mereka dengan sebaik-baiknya. Masyarakat menjadi konsumtif akan barang-barang
tersier layaknya handphone (HP)
maupun gadget-gadget keluaran terbaru
tanpa memandang fungsi mereka dan hanya ikut-ikutan tren saja. Mereka merasa
bahagia jika mampu memiliki barang-barang mewah tersebut. Masyarakat lebih suka
nongkrong di café-café dan mall yang notabene merupakan sarana untuk
menghambur-hamburkan uang daripada berinteraksi bersama tetangga maupun
keluarga dan memahami keadaan sekitar mereka. Hal ini membawa masyarakat pada
kehidupan hedonis yang membutuhkan uang yang banyak. Tentunya hal tersebut
telah menggeser nilai kebahagiaan dari normatif menjadi material. Mereka tidak
lagi peduli apakah keberadaan mereka berguna bagi masyarakat di sekitar mereka
atau tidak. Lalu muncullah masyarakat-masyarakat yang individualis. Jika sudah
seperti ini, maka kebahagiaan akan lebih sulit untuk diperoleh karena sebelum
mereka memperoleh uang yang banyak atau harta yang mereka inginkan, mereka
belum akan bahagia.
B. Bahagia
Datangnya Dari Hati
Jika kita menilik kembali, bahagia itu adalah masalah hati.
Manusia dapat saja menentukan sumber kebahagiaannya akan tetapi, semua itu
kembali kepada hati nurani masing-masing orang. Di dalam hati manusia itu
terdapat berbagai macam hal dimana semua hal itu tidak mampu untuk kita
pikirkan. Begitu juga dengan kebahagiaan. Kita dapat merasakannya akan tetapi
kita tidak akan pernah mampu untuk memikirkannya. Kita dapat menentukan bahwa
kita bahagia jika memiliki uang yang banyak, mobil mewah, istri cantik atau
suami tampan, rumah megah, dan tanah yang luas. Akan tetapi kebahagiaan kita
yang sebenarnya tergantung pada hati kita. Ketika kita memiliki uang yang
banyak tetapi selalu khawatir jika uang itu akan habis dan hilang maka kita
menjadi tidak bahagia. Ketika kita memiliki istri atau suami yang menarik, akan
tetapi kita diliputi rasa khawatir jika dia akan selingkuh maka kebahagiaan
kita akan hilang. Ketika kita memiliki mobil mewah tetapi takut memakai karena
takut akan tergores, maka kita tidak jadi bahagia. Untuk itu, kebahagiaan yang
sebenarnya adalah yang berasal dari hati. Kebahagiaan sebenarnya adalah jika
hati kita senantiasa mampu untuk ikhlas menghadapi segala yang terjadi dan
memasrahkan diri pada Tuhan setelah melakukan usaha yang maksimal.
Seperti halnya aspek yang lain, untuk memperoleh
kebahagiaanpun meliputi hal yang vital dan vatal. Tentunya untuk menggapai
bahagia kita perlu usaha, akan tetapi usaha tersebut sebaiknya tidak berlebihan
karena jika berlebihan hanya akan mendatangkan ketidakbahagiaan bagi kita.
Setelah berusaha yang maksimal kita harus memasrahkan segala keputusan pada
Tuhan. Ikhlaskan segala keputusan pada kehendakNya, karena dengan begitu hati
kita akan tentram dan kita tetap akan bahagia apapun hasil yang akan diperoleh.
Lalu, apakah pikiran tidak memiliki peranan dalam
menentukan kebahagiaan seseorang? Hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Salah
satu aspek yang juga menentukan kebahagiaan kita adalah pikiran kita. Bahkan
derajat kebahagiaan kita ditentukan oleh derajat akal kita. Kita dapat
menentukan mana yang akan menjadi sumber kebahagian akan tetapi nantinya hasil
pemikiran kita akan disaring oleh hati agar kebahagiaan yang kita peroleh
adalah kebahagiaan yang hakiki. Untuk itu, akan sangat baik jika kita mampu
untuk membersihkan hati dan mempertajam pemikiran kita sehingga nantinya kita
mampu untuk menggapai kebahagiaan yang sejati.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa, sebenar-benar bahagia itu berada dekat dengan
diri manusia sendiri. Kita bisa saja memandang kebahagiaan orang lain dan ingin
memiliki kebahagiaan yang sama, akan tetapi kebahagiaan yang kita peroleh
bukanlah kebahagiaan kita yang sebenarnya. kebahagiaan yang sebenarnya adalah
kebahagiaan yang berasal dari hati dan pikiran kita masing-masing yang
dilandasi oleh keikhlasan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebahagiaan
ada di dalam diri kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar