Selasa, 19 Januari 2016

[TUGAS UAS] Filsafat Memandang Bahagia


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kebahagiaan merupakan hal yang diidam-idamkan oleh setiap manusia. Tak ayal jika manusia berbondong-bondong melakukan segala upaya dan usaha yang bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan. Akan tetapi, kebahagiaan untuk satu orang dengan orang lainnya tidaklah sama. Ada orang yang bahagia karena keluarga yang harmonis, ada yang bahagia karena memiliki banyak harta, ada yang bahagia karena pangkat dan kedudukannya, dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman, sumber kebahagiaan orang mulai bergeser. Kebanyakan manusia modern merasa bahagia jika mereka dapat memiliki materi yang banyak. Terutama di zaman sekarang ini dikala pengaruh power now tidak mampu lagi kita bendung. Banyak produk-produk dari luar dengan berbagai merk, teknologi-teknologi baru yang menggiurkan dan mempermudah pekerjaan manusia, dan kegiatan-kegiatan kaum hedonis yang hanya menampilkan sisi glamor dan kesenangan semata, membuat manusia merasa bahagia jika mereka dapat memiliki uang yang banyak dan materi yang melimpah. Hal ini terkadang membuat manusia melakukan persaingan-persaingan yang tidak sehat dan justru dapat membuat mereka tidak bahagia. Lantas, timbulan pertanyaan, benarkan kebahagiaan yang bergantung pada uang adalah kebahagiaan yang sebenarnya? Untuk itu, penulis ingin mencoba menguraikan bagaimana filsafat memandang arti suatu kebahagiaan.
B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah “bagaimana filsafat memandang suatu kebahagiaan yang sebenarnya?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalan ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana filsafat memandang suatu kebahagiaan yang sebenarnya.
                                                                


BAB II
ISI
A.      Masyarakat Memandang Bahagia
Jika kita berbicara tentang bahagia, tentunya hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kondisi masyarakat saat ini. Kebahagian merupakan hal yang esensial bagi manusia. Tanpa kebahagiaan, kehidupan manusia akan hampa dan tidak ada keharmonisan dalam hidup. Banyak cara yang ditempuh agar manusia dapat merasakan bahagia. Jika kita melihat pola kehidupan manusia modern saat ini, kebanyakan merasa bahagia jika memiliki uang atau harta yang banyak. Mereka bekerja keras siang dan malam agar kebutuhan mereka tercukupi, sehingga mereka tidak akan takut akan hari esok dan mereka akan merasa bahagia. Akan tetapi, dalam proses memperoleh kebahagiaan tersebut mereka justru mengorbankan kebahagiaan lain yang ternyata lebih hakiki daripada sekedar harta. Dalam hal ini, mereka sibuk bekerja dan mengabaikan keluarga, padahal berkumpul bersama keluarga dan saling berbagi perasaan merupakan sumber kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Jika kita melihat fenomena ini, kita akan dapati bahwa semakin mereka berusaha mencari kebahagiaan semakin mereka tidak akan memperoleh kebahagiaan itu. Hal ini senada dengan pendapat Hendrik Ibsen seorang filsuf dari Norwegia yang mengatakan bahwa kita belum mencapai bahagia sebab tiap-tiap jalan yang ditempuh menjauhkan kita daripadanya. Jika kita kaji, pendapat ini merupakan pendapat yang mengandung sikap putus asa. Akan tetapi memang begitulah keadaannya jika manusia hanya mengejar harta untuk memperoleh kebahagiaan.
Selanjutnya, dalam bekerja siang dan malam tersebut terkadang manusia juga dihadapkan pada persaingan-persaingan agar dapat memperoleh keuntungan maupun pendapatan yang lebih besar. Di dalam persaingan tersebut terkadang ada persaingan yang tidak sehat sehingga bukannya kebahagiaan yang mereka peroleh melainkan pikiran yang frustasi dan tekanan yang diperoleh dari berbagai arah. Hal ini tentu sangat kontradiksi, usaha dan tujuan tidak searah.
Selain contoh di atas, dalam kehidupan sekolah biasanya orang tua akan merasa bahagia jika anak mereka memperoleh nilai yang bagus dan berhasil menjadi juara satu. Orang tua tidak menyadari bahwa ada hal yang lebih penting yang seharusnya diperoleh oleh anak-anak mereka daripada hanya sekedar nilai yang bagus dan peringkat yang membanggakan. Anak-anak sekolah untuk belajar, dan belajar itu tidak melulu masalah nilai formal. Sopan santun, adab dalam kehidupan, nilai-nilai kejujuran dan kebaikan, semua itu jauh lebih penting daripada sekedar nilai yang bagus maupun juara satu. Lalu jika ditanya, apakah anak-anak akan merasa bahagia jika mereka bisa mendapat juara satu tetapi tidak memiliki teman? Ataukah orang tua akan bahagia jika anaknya mendapat nilai 100 di pelajaran matematika tetapi diperoleh dengan cara berbohong atau mencontek? Tentu hal tersebut bukan merupakan sumber kebahagiaan yang sebenarnya.
Dari kedua contoh di atas, dapat dipahami bahwa sebenar-benar bahagia itu terletak pada ranah normatif, bahagia itu masalah hati. Jika masyarakat zaman sekarang memandang bahagia sebagai sesuatu yang berhubungan dengan material maupun formal, tentunya hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kebahagiaan itu sendiri. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh power now yang saat ini sudah mulai masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Para ilmuan negara maju menciptakan berbagai macam alat yang mempermudah pekerjaan kita, sehingga manusia cenderung tergantung pada alat-alat tersebut dan tidak memanfaatkan potensi mereka dengan sebaik-baiknya. Masyarakat menjadi konsumtif akan barang-barang tersier layaknya handphone (HP) maupun gadget-gadget keluaran terbaru tanpa memandang fungsi mereka dan hanya ikut-ikutan tren saja. Mereka merasa bahagia jika mampu memiliki barang-barang mewah tersebut. Masyarakat lebih suka nongkrong di café-café dan mall yang notabene merupakan sarana untuk menghambur-hamburkan uang daripada berinteraksi bersama tetangga maupun keluarga dan memahami keadaan sekitar mereka. Hal ini membawa masyarakat pada kehidupan hedonis yang membutuhkan uang yang banyak. Tentunya hal tersebut telah menggeser nilai kebahagiaan dari normatif menjadi material. Mereka tidak lagi peduli apakah keberadaan mereka berguna bagi masyarakat di sekitar mereka atau tidak. Lalu muncullah masyarakat-masyarakat yang individualis. Jika sudah seperti ini, maka kebahagiaan akan lebih sulit untuk diperoleh karena sebelum mereka memperoleh uang yang banyak atau harta yang mereka inginkan, mereka belum akan bahagia.


B.       Bahagia Datangnya Dari Hati
Jika kita menilik kembali, bahagia itu adalah masalah hati. Manusia dapat saja menentukan sumber kebahagiaannya akan tetapi, semua itu kembali kepada hati nurani masing-masing orang. Di dalam hati manusia itu terdapat berbagai macam hal dimana semua hal itu tidak mampu untuk kita pikirkan. Begitu juga dengan kebahagiaan. Kita dapat merasakannya akan tetapi kita tidak akan pernah mampu untuk memikirkannya. Kita dapat menentukan bahwa kita bahagia jika memiliki uang yang banyak, mobil mewah, istri cantik atau suami tampan, rumah megah, dan tanah yang luas. Akan tetapi kebahagiaan kita yang sebenarnya tergantung pada hati kita. Ketika kita memiliki uang yang banyak tetapi selalu khawatir jika uang itu akan habis dan hilang maka kita menjadi tidak bahagia. Ketika kita memiliki istri atau suami yang menarik, akan tetapi kita diliputi rasa khawatir jika dia akan selingkuh maka kebahagiaan kita akan hilang. Ketika kita memiliki mobil mewah tetapi takut memakai karena takut akan tergores, maka kita tidak jadi bahagia. Untuk itu, kebahagiaan yang sebenarnya adalah yang berasal dari hati. Kebahagiaan sebenarnya adalah jika hati kita senantiasa mampu untuk ikhlas menghadapi segala yang terjadi dan memasrahkan diri pada Tuhan setelah melakukan usaha yang maksimal.
Seperti halnya aspek yang lain, untuk memperoleh kebahagiaanpun meliputi hal yang vital dan vatal. Tentunya untuk menggapai bahagia kita perlu usaha, akan tetapi usaha tersebut sebaiknya tidak berlebihan karena jika berlebihan hanya akan mendatangkan ketidakbahagiaan bagi kita. Setelah berusaha yang maksimal kita harus memasrahkan segala keputusan pada Tuhan. Ikhlaskan segala keputusan pada kehendakNya, karena dengan begitu hati kita akan tentram dan kita tetap akan bahagia apapun hasil yang akan diperoleh.
Lalu, apakah pikiran tidak memiliki peranan dalam menentukan kebahagiaan seseorang? Hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Salah satu aspek yang juga menentukan kebahagiaan kita adalah pikiran kita. Bahkan derajat kebahagiaan kita ditentukan oleh derajat akal kita. Kita dapat menentukan mana yang akan menjadi sumber kebahagian akan tetapi nantinya hasil pemikiran kita akan disaring oleh hati agar kebahagiaan yang kita peroleh adalah kebahagiaan yang hakiki. Untuk itu, akan sangat baik jika kita mampu untuk membersihkan hati dan mempertajam pemikiran kita sehingga nantinya kita mampu untuk menggapai kebahagiaan yang sejati.
BAB III
PENUTUP
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, sebenar-benar bahagia itu berada dekat dengan diri manusia sendiri. Kita bisa saja memandang kebahagiaan orang lain dan ingin memiliki kebahagiaan yang sama, akan tetapi kebahagiaan yang kita peroleh bukanlah kebahagiaan kita yang sebenarnya. kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan yang berasal dari hati dan pikiran kita masing-masing yang dilandasi oleh keikhlasan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebahagiaan ada di dalam diri kita masing-masing.

Selasa, 12 Januari 2016

Menggapai Ikhlas


Hari Selasa, 29 Desember 2015 kami kembali mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu bersama Prof. Marsigit. Kuliah ini adalah perkuliahan pengganti karena kami biasanya mengikuti kuliah pada hari Rabu. Pada kesempatan ini kami diberi kesempatan sebanyak-banyaknya untuk mengajukan pertanyaan tentang segala hal yang ingin kami ketahui. Bagaimana tidak? Kami punya banyak waktu karena perkuliahan dimulai pukul 7.30 WIB dan berakhir pukul 11.00. Untuk itulah masing-masing dari kami mengajukan 5 pertanyaan. Dari keseluruhannya, ada beberapa pertanyaan yang menarik untuk diikuti, salah satunya yaitu pertanyaan tentang cara untuk menggapai ikhlas. Saya rasa pertanyaan ini muncul karena elegi ritual ikhlas yang ada di blog Prof. Marsigit. Bagi saya, tulisan tersebut menarik untuk diikuti oleh kita yang benar-benar ingin menggapai ikhlas.
            Ikhlas sejatinya tidaklah dapat kita ungkapkan dengan kata-kata. Sebenar-benar ikhlas datangnya dari hati.ketika kita mengatakan bahwa saya telah ikhlas, sebenarnya hal itu belum tentu dapat menunjkkan keikhlasannya. Ikhlas menurut merupakan suatu transformasi untuk merasa tidak memiliki apapun di hadapan Alloh SWT. Manusia tidak boleh menggunakan “ku” atau mengaku-aku ketika berhadapan dengan Tuhannya, karena penggunaan kata tersebut akan membuat kita terjerumus pada kesesatan. Sebenar-benar keikhlasan dalam berdoa adalah ketika kita berada dalam ketidaksadaran. Untuk itu, sebenar-benar menggapai ikhlas adalah ketika kita meyerahkan  segalanya pada Alloh SWT dengan sepenuh hati dan menganggap tidak ada daya dan upaya tanpa keberadaanNya.

BAGAIMANA FILSAFAT MEMANDANG LUPA


            Hari Selasa, 22 Desember 2015 pukul 15.30 sampai dengan 17.10 kami mengikuti perkuliahan filsafat ilmu bersama Prof. Marsigit. Di udara mendung itu kami diberi kesempatan untuk bertanya dan bertanya. Semenjak penjelasan tentang bahayanya tes jawab singkat dan kami diberi kesempatan untuk merasakan bahayanya, maka tes jawab singkat tidak pernah lagi masuk dalam agenda kuliah kami.
            Pertanyaan pada kesempatan ini adalah tentang lupa. Kurang lebih pertanyaan tersebut adalah “bagaimana filsafat memandang lupa?”. Beginilah pejelasannya. Dalam berfilsafat, orang yang memikirkan sesuatu itu berdimensi, begitu pula apa yang dipikirkannya juga berdimensi. Karena ini adalah filsafat maka berdimensi disini maksudnya adalah intensif dan ekstensif. Hal yang termasuk intensif adalah lupa material, lupa formal, lupa normatif, dan lupa spiritual. Yang termasuk pada dimensi ekstensif adalah lupa disini dan lupa disana, lupa kemarin, lupa sekarang, dan lupa yang akan datang. Selain itu, ternyata lupa juga ada lupa ontologis, lupa epistemologis, dan lupa aksiologis.
            Kendati semua orang akan mengalami lupa, tetapi lupa setiap orang itu berbeda-beda. Prof. Marsigit mengatakan bahwa lupanya dewa itu bijaksana, sedangkan lupanya daksa itu adalah bodoh. Lalu, apakah lupa merupakan suatu yang tidak baik? Tidak juga. Justru orang yang sehat adalah orang yang mampu melupakan. Bayangkan jika orang selalu menginat semuaya, pasti hidupnya adkan tersiksa dan dia tidak sehat. Ada banyak cara untuk melupakan, salah satunya adalah dengan berkegiatan yang membuat otak kita sibuk sehingga kita mampu melupakan hal-hal yang tidak seharusnya kita ingat.
            Jika ada lupa tentunya ada ingat. Kemampuan untuk mengingat merupakan potensi yang baik. Inat dan lupa merupakan hal yang saling melengkapi. Tidak akan pernah ada lupa jika tidak ada ingat, begitu pula sebaliknya. Ketika kita mengingat sesuatu pasti akan ada yang dilupakan karena manusa tidaklah sempurna. Ada kalanya kita harus lupa, salah satunya yaitu ketika kita menghadap Tuhan. Ketika itu kita harus melupakan kehidupan duniawi dan hanya harus berfokus pada Tuhan. Ketika kita masih saja mengingat-ingat hal duniawi maka kita termasuk orang yang sombong. Jadi, lupa itu bukanlah hal yang buruk.

FILSAFAT ADALAH PENJELASANMU


Hari Rabu, 2 Desember 2015 merupakan hari filsafat ilmu oleh Prof.Marsigit. Akan tetapi, ada hal yang berbeda pada hari ini. Kami tetap diberikan tes jawab singkat, salah satu agenda wajib kami. Akan tetapi, tes jawab singkat kali ini tidaklah sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Prof. Marsigit memberikan pertanyaan dengan cepat dan kami juga harus menjawab dengan cepat pula. Setelah itu ketika tiba saatnya untuk mencocokkan, kami diminta untuk mencoret semua jawaban kami, dan otomatis kami mendapat nilai 0. Hari ini kami belajar tentang betapa bahayanya tes jawab singkat dalam kuliah filsafat. Filsafat adalah penjelasan. Ketika kita melakukan tes jawab singkat maka kami telah melakukan reduksi yang sereduksi-reduksinya, dan itu berbahaya. Tes jawab singkat merupakan saran untuk mencapai mitos. Sebenar-benar filsafat adalah penjelasan dan penyampaian suatu pemikiran, sehingga dapat membuat paham orang yang belum paham.
Bahaya dari tes ini ternyata juga menjangkau ranah pendidikan selain kuliah filsafat. Ketika seorang guru memberikan tes dan hanya meminta jawaban yang benar saja tanpa mau mendengarkan penjelasan siswanya maka guru tersebut telah mereduksi pemikiran siswanya, dan hal tersebut berbahaya. Sebagai akibatnya siswa bisa saja menyampaikan penjelasan melalui cara lain yang bisa jadi penjelasan tersebut berupa perilaku menyimpang seperti tawuran dan lain sebagainya. Untuk itu, sebagai guru sebaiknya tidak hanya memberikan tes jawab singkat, tetapi juga disertai keinginan untuk mendengarkan penjelasan dari siswa tentang apa yang dia pikirkan atau tentang apa yang ingin dia ketahui.

Senin, 11 Januari 2016

SULITNYA PIKIRAN MENGGAPAI HATI

Hari Rabu, 28 Oktober 2015, perkuliahan filsafat ilmu bersama Prof. Marsigit kembali digelar di ruang PPG 1 gedung FMIPA UNY. Perkuliahan yang dimulai pukul 07.30 tersebut kembali membahas tentang beberapa hal yang berasal dari pertanyaan mahasiswa. Salah satu pertanyaan yang terlontar yaitu
Mengapa pikiran sulit menggapai hati dan pikiran sulit untuk diungkapkan?
            Berikut jawaban dari beliau. Persoalan filsafat mencakup dua hal yaitu (1) menjelaskan apa yang kita ketahui, dan (2) memahami apa yang ada di luar pikiran kita. Manusia dalam hidupnya memiliki banyak keterbatasan. Hal ini sesuai dengan kodratnya bahwa manusia bersifat terbatas. Hal ini berdampak pada suatu keadaan dimana manusia tidak mampu dan tidak akan pernah mampu untuk memikirkan semua yang ada di hatinya, manusia juga tidak mampu untuk mengungkapkan semua pikirannya, serta manusia tidak akan pernah dapat menuliskan semua ucapan. Akan tetapi, hal tersebutlah yang menyebabkan manusia menjadi hidup. Bayangkan saja jika manusia mampu memikirkan semua yang ada dalam hatinya. Akankah manusia mampu tidur? Mampukah manusia tetap beraktivitas? Tentunya hal tersebut akan terus membebaninya sehingga dia tidak mampu untuk hidup. Perasaan dan pikiran manusia lebih luas dari lautan di muka bumi ini. Hati seluas ciptaan Tuhan. Untuk itu ada saatnya kita harus pikiran tidak mampu untuk menggapai hati, yaitu ketika kita sedang berdoa atau bersembahyang kepada Tuhan. Saat itu pikiran kita harus berhenti. Jika pikiran kita tidak berhenti maka kita adalah makhluk yang sombong. Karena dalam doa kita harus ikhlas dan memfokuskan semua pada Tuhan. Biarkan hati yang berkomunikasi, karena sebaik-baik fasilitator untuk menggapai Tuhan adalah dengan hati kita. Oleh karena itulah mengapa pikiran manusia tidak mampu untuk menggapai hati.