Senin, 22 Februari 2016

MODEL, STRUKTUR, DAN KONTEKSTUAL TABUNG



           
Istilah tabung tentulah sudah tidak asing di telinga kita. Sejak SD sampai dengan SMA kita belajar tentang tabung mulai dari pengertiannya sampai dengan volum dan luas permukaannya. Selain itu, penerapan konsep tentang tabung ini juga banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalkan saja kaleng susu, kaleng cat, ember, dan bahkan tabung LPG. Tabung yang dalam bahasa yunani dikenal sebagai kulindros beserta luas permukaan dan volumnya sudah dikenal sejak lama. Seperti halnya objek matematika yang lain, tabung sebagai objek berdimensi tiga juga hanya ada dalam pikiran kita. Untuk itu, penampakan tabung hanyalah sebatas modelnya saja. Sejak SD kita menganal tabung yang dimodelkan sebagai berikut.



   







           Gambar 1

            Tabung merupakan suatu struktur. Untuk tabung yang seperti terlihat dalam gambar di atas, kita dapat mendefinisikannya sebagai bangun ruang tiga dimensi yang dibentuk oleh dua buah lingkaran identic yang sejajar dan sebuah persegi panjang yang mengelilingi kedua lingkaran tersebut (id.m.wikipedia.org/wiki/tabung_(geometri). Sementara itu, untuk pengertian yang lebih luas tabung atau silinder didefinisikan sebagai suatu bangun geometri yang permukaannya dibentuk oleh titik-titik yang berjarak sama dari suatu garis lurus yang sudah diketahui. Garis tersebut dinamakan axis dari tabung (en.m.wikipedia.org/wiki/cylinder_(geometry). Pada definisi yang pertama, tabung hanyalah didefinisikan berdasarkan unsur-unsurnya saja, akan tetapi untuk definisi kedua tabung didefinisikan secara lebih formal sesuai dengan hakikatnya sebagai benda pikiran.
            Tabung terdiri dari beberapa komponen atau yang biasa dikenal dengan unsur-unsur tabung. Seperti yang terlihat dari gambar 1, tabung memiliki tiga sisi yaitu sisi atas, sisi bawah, dan juga sisi lengkung atau yang biasa disebut dengan selimut tabung. Sisi atas dan sisi bawah membentuk daerah lingkaran yang kongruen atau identik, sementara selimutnya berbentuk persegi panjang. Tabung memiliki dua rusuk yang juga berbentuk lingkaran. Akan tetapi tabung tidak memiliki titik sudut.
            Jika menilik dari unsur-unsurnya, tabung dapat pula dikatakan sebagai suatu prisma. Karena sama-sama memiliki sepasang sisi yang sejajar dan dibatasi oleh satu sisi-sisi lain yang memotong kedua sisi tersebut. Jadi, tabung merupakan prisma beraturan yang banyaknya sisi tegak tidak terhingga.

            Penggunaan tabung sudah ada sejak zaman Babilonia dan Mesir Kuno, bahkan para raja dan ratu Mesir kuno menyimpan perhiasannya dalam wadah berbentuk tabung. Para ilmuan pada masa itu sudah mengenal volum tabung sebagai hasil perkalian dari luas alas dengan tingginya. Euclid dalam bukunya Elements ke XI, Spatial Geometri and Solids membahas tentang tabung. Menurutnya tabung (cylinder) merupakan hasil rotasi dari suatu persegi panjang mengelilingi suatu sisi. Hal tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut.

Gambar 2

Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan konsep tabung semakin meluas. Mulai dari pembuatan roket, penggunaan tabung reaksi dalam laboratorium, bahkan sampai alat-alat rumah tangga sekalipun, seperti tabung LPG, kaleng susu, kaleng minuman, tempat minum anak-anak, penampungan air, dan lain sebagainya. Penggunaan secara luas ini dikarenakan bentuk tabung yang lebih dapat memuat banyak isi jika dibandingkan dengan kerucut maupun bola.

MODEL VOLUM TABUNG
            Volum dan luas permukaan tabung sudah dikenal orang sejak zaman dahulu. Kendati tabung merupakan benda pikiran, akan tetapi volumnya dapat kita modelkan sebagai berikut.
 








 

                                                    






Senin, 15 Februari 2016

TIMELINE FENOMENA-FENOMENA HERMENEUTIKA


Pengertian Hermeneutika dan Fenomona-fenomenanya
Unsur utama dalam kuliah matematika model adalah hermeneutika. Hermeneutika (Marsigit, 2014: 180) adalah teori menafsir yang dilandasi keyakinan bahwa adanya dunia tidak bergantung pada subjek diri. Adapun fenomena dalam hermeneutika meliputi tiga hal yaitu
1.      Fenomena membangun/ mengembang
Fenomena membangun atau mendatar dapat dicontohkan yaitu hidup. Hidup ini selalu berkembang. Mulai dari manusia lahir sampai dengan manusia mati dia akan selalu membengun dirinya baik melalui bantuan orang lain maupun melalui upaya dari dalam dirinya sendiri. Membangun dalam bahasa Inggris yaitu construct. Untuk itu ketika kita berbicara tentang konsep membangun maka hal ini tidak terlepas dari paham konstruktivisme. Menurut Surianto (2009) dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Untuk itulah manusia dalam hidupnya selalu membangun pengetahuannya secara bertahap. Mulai dari tidak bisa bicara manusia belajar berbicara, mulai dari tidak dapat berjalan manusia belajar untuk berjalan, dan seiring dengan berkembangnya usia manusia mengkonstruksi pikirannya untuk mempelajari hal-hal yang tidak diketahuinya dalam hidup. Untuk itulah kenapa kehidupan manusia termasuk dalam fenomena yang mengembang atau membangun.

2.      Fenomena reguler/ mendatar
Contoh dari fenomena reguler atau mendatar adalah rutinitas manusia sehari-hari. Manusia dihadapkan pada sebuah rutinitas yang membuatnya menemui atau mengulang hal yang hampir sama. Misalnya manusia dihadapkan pada fakta bahwa dia dari hari Selasa akan bertemu dengan hari Selasa lagi. Hal ini dapat disikapi melalui dua pandangan yaitu pandangan negatif dan pandangan positif. Dalam pandangan negatif, manusia akan merasa bosan akan rutinitas tersebut. Akan tetapi jika dalam pandangan yang positif maka manusia akan cenderung untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi kesempatan dipertemukan dengan hari selasa lagi dimana dia berharap dapat memperbaiki usaha yang telah dia lakukan Selasa lalu pada Selasa yang akan datang.

3.      Fenomena menukik
Salah satu contoh dari fenomena menukik adalah research. Research atau riset menurut Ishak Abdulhak (2012: 95) diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang lebih sistematis tertuju pada penemuan dan pengembangan suatu pengetahuan yang terorganisasi. Ada berbagai pandangan mengenai research dari waktu ke waktu. Berikut ini akan diuraikan beberapa di antaranya.
a.       Aristoteles
Aristoteles yang dikenal sebagai bapak ilmu memandang penyelidikan ilmiah (research) sebagai suatu gerak maju dari kegiatan-kegiatan observasi menuju pada penyusunan prinsip-prinsip umum dan kembali pada observasi. Ilmuwan hendaknya menarik kesimpulan secara induktif tentang prinsip-prinsip yang bersifat menerangkan dan bersumber dari gejala-gejala yang diterangkan dan kemudia menarik kesimpulan secara deduktif berupa pernyataan-pernyataan yang dijabarkan atau diturunkan dari premis-premis atau dalil-dalil yang tercakup di dalamnya. Hal ini dikenal dengan prosedur induktif – deduktif.
Melalui induksi, generalisasi-generalisasi tentang bentuk ditarik dari pengelaman penginderaan. Aristoteles menjelaskan bahwa induksi terdiri atas dua hal yaitu perhitungan sederhana dan induksi intuitif. Dalam perhitungan sederhana, pernyataan-pernyataan tentang hal atau peristiwa khusus diambil sebagai dasar untuk sebuah kesimpulan umum tentang suatu spesies dengan hal atau peristiwa tersebut menjadi anggota dari spesiesnya. Sedangkan induksi intuitif merupakan sebuah insight atau kemampuan melihat apa yang esensial dari data atau pengalaman penginderaan.
b.      Francis Bacon (1560-1626)
Franscis Bacon ingin membangun kembali ilmu baru dan dia menentang konsep-konsep tentang ilmu dari Aristoteles. Menurutnya, jiwa rasional mempunyai tiga macam daya yaitu daya ingatan, daya imajinasi, dan daya pikiran. Daya ingatan menciptakan sejarah, daya imajinasi menciptakan puisi, dan daya pikiran menghasilkan filsafat. Persyaratan pertama metode ilmiah adalah ilmuwan hendaknya mampu membersihkan diri dari prasangka dan kecenderungan-kecenderungan agar kembali bersih seperti anak yang baru lahir. Menurut Bacon, prinsip tentang metode baru yang diperlukan untuk membangun ilmu meliputi dua hal yaitu induksi yang bersifat progresif, gradual dan metode eksklusi (pengujian lebih lanjut terhadap pengalaman. Metode esklusi ini dapat menghasilkan korelasi pokok yang berbeda dengan korelasi-korelasi aksidental.
c.       Rene Descastes (1596-1650)
Descastes sependapat dengan Francis Bacon. Menurutnya hasil tertinggi dari ilmu pegetahuan adalah piramida proposisi-proposisi dengan prinsip-prinsip umum sebagai puncaknya.
d.      Issac Newton (1642-1727)
Newton tidak sependapat dengan Descartes. Dia menolak pandangan Descartes yang mencari hukum-hukum fisika dasar dengan prinsip metafisika. Menurutnya, filosofi tentang alam mendasarkan generalisasi-generalisasi pada suatu penyelidikan yang cermat terhadap gejala-gejala alam. Newton menentang metode Cartesian Descartes dengan cara menguatkan teori Aristoteles tentang prosedur induktif-deduktif. Dia menamakannya sebagai metode analisis sintesis. Menurut Newton, metode ilmiah hendaknya mencakup tahap induktif-deduktif.
e.       Herschel
Herschel mengembangkan metode penyelidikan ilmiah dengan cara membedakan dengan tegas antara pola penemuan (context of discovery) dan pola pembenaran (context of justification). Menurutnya ada dua cara yang dapat ditempuh oleh hukum dan teori ilmiah yang bersumber pada observasi, yaitu melalui penggunaan skema induktif dan melalui perumusan hipotesis. Pandangan ini memberikan pengaruh terhadap pembedaan riset menjadi kualitatif dan kuantitatif.

Perkembangan Research Abad ke 19
a.       John Stuart Mill (1806-1873)
Filsafatnya yaitu induktivisme. Dia merumuskan teknik-teknik induktif untuk menilai hubungan antara kesimpulan dengan evidensi atau hal-hal yang menjadi sumbernya. Menurutnya penyelidikan ilmiah adalah generalisasi induktif dari hasil-hasil observasi dan eksperimen. Tujuan yang penting dari ilmu adalah pembuktian hubungan sebab akibat.
b.      Philip Frank (1884-1966)
Baginya tujuan yang penting dari ilmu adalah merumuskan sebuah interpretasi yang sistematis tentang gejala dan tidak hanya menghimpun generalisasi-generalisasi secara deskriptif yang tidak berkaitan.
c.       Ernest Mach (1838-1916)
Ilmu hendaknya tertuju pada menyusun sebuah deskripsi yang efisien tentang hubungan di antara gejala-gejala.
d.      Henri Poincare (1854-1912)
Menurutnya sebuah hukum ilmiah dipandang benar tidak tergantung pada setiap keputusan didasarkan pengalaman tetapi hanya menggambarkan keputusan tersirat dari para ilmuan dalam menggunakan hukum sebagai konvensi yang bersifat menentukan maknadari sebuah konsep ilmiah.
Perkembangan Research Abad ke 20
a.       Percy Williams Bridgman (1882-1961)
Orientasi metodologisnya adalah operasionalisme yaitu sebuah pandangan tentang demarkasi konsep-konsep ilmiah, sebuah pandangan yang bersumber pada tuntutan newton bahwa nilai eksperimental hanya berhubungan dengan sifat-sifat yang nilainya dapat diukur.
b.      Karl Popper
Menurutya metode empiris yang benar adalah yang terus menerus membuka sebuah interpretasi yang mengandung kemungkinan adanya kepalsuan.



Referensi:
Ishak Abdulhak. 2012. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Marsigit. 2014. Filsafat Matemaika. Yogyakarta: UNY Press
Surianto. 2009. Teori Pembelajaran Konstruktivisme, https://surianto200477.wordpress.com/2009/09/17/teori-pembelajaran-konstruktivisme/ diakses pada tanggal 13 Februari 2016 pukul 10.20.

Selasa, 19 Januari 2016

[TUGAS UAS] Filsafat Memandang Bahagia


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kebahagiaan merupakan hal yang diidam-idamkan oleh setiap manusia. Tak ayal jika manusia berbondong-bondong melakukan segala upaya dan usaha yang bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan. Akan tetapi, kebahagiaan untuk satu orang dengan orang lainnya tidaklah sama. Ada orang yang bahagia karena keluarga yang harmonis, ada yang bahagia karena memiliki banyak harta, ada yang bahagia karena pangkat dan kedudukannya, dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman, sumber kebahagiaan orang mulai bergeser. Kebanyakan manusia modern merasa bahagia jika mereka dapat memiliki materi yang banyak. Terutama di zaman sekarang ini dikala pengaruh power now tidak mampu lagi kita bendung. Banyak produk-produk dari luar dengan berbagai merk, teknologi-teknologi baru yang menggiurkan dan mempermudah pekerjaan manusia, dan kegiatan-kegiatan kaum hedonis yang hanya menampilkan sisi glamor dan kesenangan semata, membuat manusia merasa bahagia jika mereka dapat memiliki uang yang banyak dan materi yang melimpah. Hal ini terkadang membuat manusia melakukan persaingan-persaingan yang tidak sehat dan justru dapat membuat mereka tidak bahagia. Lantas, timbulan pertanyaan, benarkan kebahagiaan yang bergantung pada uang adalah kebahagiaan yang sebenarnya? Untuk itu, penulis ingin mencoba menguraikan bagaimana filsafat memandang arti suatu kebahagiaan.
B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah “bagaimana filsafat memandang suatu kebahagiaan yang sebenarnya?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalan ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana filsafat memandang suatu kebahagiaan yang sebenarnya.
                                                                


BAB II
ISI
A.      Masyarakat Memandang Bahagia
Jika kita berbicara tentang bahagia, tentunya hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kondisi masyarakat saat ini. Kebahagian merupakan hal yang esensial bagi manusia. Tanpa kebahagiaan, kehidupan manusia akan hampa dan tidak ada keharmonisan dalam hidup. Banyak cara yang ditempuh agar manusia dapat merasakan bahagia. Jika kita melihat pola kehidupan manusia modern saat ini, kebanyakan merasa bahagia jika memiliki uang atau harta yang banyak. Mereka bekerja keras siang dan malam agar kebutuhan mereka tercukupi, sehingga mereka tidak akan takut akan hari esok dan mereka akan merasa bahagia. Akan tetapi, dalam proses memperoleh kebahagiaan tersebut mereka justru mengorbankan kebahagiaan lain yang ternyata lebih hakiki daripada sekedar harta. Dalam hal ini, mereka sibuk bekerja dan mengabaikan keluarga, padahal berkumpul bersama keluarga dan saling berbagi perasaan merupakan sumber kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Jika kita melihat fenomena ini, kita akan dapati bahwa semakin mereka berusaha mencari kebahagiaan semakin mereka tidak akan memperoleh kebahagiaan itu. Hal ini senada dengan pendapat Hendrik Ibsen seorang filsuf dari Norwegia yang mengatakan bahwa kita belum mencapai bahagia sebab tiap-tiap jalan yang ditempuh menjauhkan kita daripadanya. Jika kita kaji, pendapat ini merupakan pendapat yang mengandung sikap putus asa. Akan tetapi memang begitulah keadaannya jika manusia hanya mengejar harta untuk memperoleh kebahagiaan.
Selanjutnya, dalam bekerja siang dan malam tersebut terkadang manusia juga dihadapkan pada persaingan-persaingan agar dapat memperoleh keuntungan maupun pendapatan yang lebih besar. Di dalam persaingan tersebut terkadang ada persaingan yang tidak sehat sehingga bukannya kebahagiaan yang mereka peroleh melainkan pikiran yang frustasi dan tekanan yang diperoleh dari berbagai arah. Hal ini tentu sangat kontradiksi, usaha dan tujuan tidak searah.
Selain contoh di atas, dalam kehidupan sekolah biasanya orang tua akan merasa bahagia jika anak mereka memperoleh nilai yang bagus dan berhasil menjadi juara satu. Orang tua tidak menyadari bahwa ada hal yang lebih penting yang seharusnya diperoleh oleh anak-anak mereka daripada hanya sekedar nilai yang bagus dan peringkat yang membanggakan. Anak-anak sekolah untuk belajar, dan belajar itu tidak melulu masalah nilai formal. Sopan santun, adab dalam kehidupan, nilai-nilai kejujuran dan kebaikan, semua itu jauh lebih penting daripada sekedar nilai yang bagus maupun juara satu. Lalu jika ditanya, apakah anak-anak akan merasa bahagia jika mereka bisa mendapat juara satu tetapi tidak memiliki teman? Ataukah orang tua akan bahagia jika anaknya mendapat nilai 100 di pelajaran matematika tetapi diperoleh dengan cara berbohong atau mencontek? Tentu hal tersebut bukan merupakan sumber kebahagiaan yang sebenarnya.
Dari kedua contoh di atas, dapat dipahami bahwa sebenar-benar bahagia itu terletak pada ranah normatif, bahagia itu masalah hati. Jika masyarakat zaman sekarang memandang bahagia sebagai sesuatu yang berhubungan dengan material maupun formal, tentunya hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kebahagiaan itu sendiri. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh power now yang saat ini sudah mulai masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Para ilmuan negara maju menciptakan berbagai macam alat yang mempermudah pekerjaan kita, sehingga manusia cenderung tergantung pada alat-alat tersebut dan tidak memanfaatkan potensi mereka dengan sebaik-baiknya. Masyarakat menjadi konsumtif akan barang-barang tersier layaknya handphone (HP) maupun gadget-gadget keluaran terbaru tanpa memandang fungsi mereka dan hanya ikut-ikutan tren saja. Mereka merasa bahagia jika mampu memiliki barang-barang mewah tersebut. Masyarakat lebih suka nongkrong di café-café dan mall yang notabene merupakan sarana untuk menghambur-hamburkan uang daripada berinteraksi bersama tetangga maupun keluarga dan memahami keadaan sekitar mereka. Hal ini membawa masyarakat pada kehidupan hedonis yang membutuhkan uang yang banyak. Tentunya hal tersebut telah menggeser nilai kebahagiaan dari normatif menjadi material. Mereka tidak lagi peduli apakah keberadaan mereka berguna bagi masyarakat di sekitar mereka atau tidak. Lalu muncullah masyarakat-masyarakat yang individualis. Jika sudah seperti ini, maka kebahagiaan akan lebih sulit untuk diperoleh karena sebelum mereka memperoleh uang yang banyak atau harta yang mereka inginkan, mereka belum akan bahagia.


B.       Bahagia Datangnya Dari Hati
Jika kita menilik kembali, bahagia itu adalah masalah hati. Manusia dapat saja menentukan sumber kebahagiaannya akan tetapi, semua itu kembali kepada hati nurani masing-masing orang. Di dalam hati manusia itu terdapat berbagai macam hal dimana semua hal itu tidak mampu untuk kita pikirkan. Begitu juga dengan kebahagiaan. Kita dapat merasakannya akan tetapi kita tidak akan pernah mampu untuk memikirkannya. Kita dapat menentukan bahwa kita bahagia jika memiliki uang yang banyak, mobil mewah, istri cantik atau suami tampan, rumah megah, dan tanah yang luas. Akan tetapi kebahagiaan kita yang sebenarnya tergantung pada hati kita. Ketika kita memiliki uang yang banyak tetapi selalu khawatir jika uang itu akan habis dan hilang maka kita menjadi tidak bahagia. Ketika kita memiliki istri atau suami yang menarik, akan tetapi kita diliputi rasa khawatir jika dia akan selingkuh maka kebahagiaan kita akan hilang. Ketika kita memiliki mobil mewah tetapi takut memakai karena takut akan tergores, maka kita tidak jadi bahagia. Untuk itu, kebahagiaan yang sebenarnya adalah yang berasal dari hati. Kebahagiaan sebenarnya adalah jika hati kita senantiasa mampu untuk ikhlas menghadapi segala yang terjadi dan memasrahkan diri pada Tuhan setelah melakukan usaha yang maksimal.
Seperti halnya aspek yang lain, untuk memperoleh kebahagiaanpun meliputi hal yang vital dan vatal. Tentunya untuk menggapai bahagia kita perlu usaha, akan tetapi usaha tersebut sebaiknya tidak berlebihan karena jika berlebihan hanya akan mendatangkan ketidakbahagiaan bagi kita. Setelah berusaha yang maksimal kita harus memasrahkan segala keputusan pada Tuhan. Ikhlaskan segala keputusan pada kehendakNya, karena dengan begitu hati kita akan tentram dan kita tetap akan bahagia apapun hasil yang akan diperoleh.
Lalu, apakah pikiran tidak memiliki peranan dalam menentukan kebahagiaan seseorang? Hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Salah satu aspek yang juga menentukan kebahagiaan kita adalah pikiran kita. Bahkan derajat kebahagiaan kita ditentukan oleh derajat akal kita. Kita dapat menentukan mana yang akan menjadi sumber kebahagian akan tetapi nantinya hasil pemikiran kita akan disaring oleh hati agar kebahagiaan yang kita peroleh adalah kebahagiaan yang hakiki. Untuk itu, akan sangat baik jika kita mampu untuk membersihkan hati dan mempertajam pemikiran kita sehingga nantinya kita mampu untuk menggapai kebahagiaan yang sejati.
BAB III
PENUTUP
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, sebenar-benar bahagia itu berada dekat dengan diri manusia sendiri. Kita bisa saja memandang kebahagiaan orang lain dan ingin memiliki kebahagiaan yang sama, akan tetapi kebahagiaan yang kita peroleh bukanlah kebahagiaan kita yang sebenarnya. kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan yang berasal dari hati dan pikiran kita masing-masing yang dilandasi oleh keikhlasan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebahagiaan ada di dalam diri kita masing-masing.