Pengertian
Hermeneutika dan Fenomona-fenomenanya
Unsur utama dalam kuliah matematika model adalah
hermeneutika. Hermeneutika (Marsigit, 2014: 180) adalah teori menafsir yang
dilandasi keyakinan bahwa adanya dunia tidak bergantung pada subjek diri. Adapun
fenomena dalam hermeneutika meliputi tiga hal yaitu
1. Fenomena membangun/ mengembang
Fenomena membangun atau mendatar dapat dicontohkan
yaitu hidup. Hidup ini selalu berkembang. Mulai dari manusia lahir sampai
dengan manusia mati dia akan selalu membengun dirinya baik melalui bantuan
orang lain maupun melalui upaya dari dalam dirinya sendiri. Membangun dalam
bahasa Inggris yaitu construct. Untuk
itu ketika kita berbicara tentang konsep membangun maka hal ini tidak terlepas
dari paham konstruktivisme. Menurut Surianto (2009) dalam konteks filsafat
pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup
yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi)
pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Untuk itulah
manusia dalam hidupnya selalu membangun pengetahuannya secara bertahap. Mulai
dari tidak bisa bicara manusia belajar berbicara, mulai dari tidak dapat berjalan
manusia belajar untuk berjalan, dan seiring dengan berkembangnya usia manusia
mengkonstruksi pikirannya untuk mempelajari hal-hal yang tidak diketahuinya
dalam hidup. Untuk itulah kenapa kehidupan manusia termasuk dalam fenomena yang
mengembang atau membangun.
2. Fenomena reguler/ mendatar
Contoh dari fenomena reguler atau mendatar adalah
rutinitas manusia sehari-hari. Manusia dihadapkan pada sebuah rutinitas yang
membuatnya menemui atau mengulang hal yang hampir sama. Misalnya manusia
dihadapkan pada fakta bahwa dia dari hari Selasa akan bertemu dengan hari
Selasa lagi. Hal ini dapat disikapi melalui dua pandangan yaitu pandangan
negatif dan pandangan positif. Dalam pandangan negatif, manusia akan merasa
bosan akan rutinitas tersebut. Akan tetapi jika dalam pandangan yang positif
maka manusia akan cenderung untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
telah diberi kesempatan dipertemukan dengan hari selasa lagi dimana dia
berharap dapat memperbaiki usaha yang telah dia lakukan Selasa lalu pada Selasa
yang akan datang.
3. Fenomena menukik
Salah satu contoh dari fenomena menukik adalah
research. Research atau riset menurut Ishak Abdulhak (2012: 95) diartikan
sebagai serangkaian kegiatan yang lebih sistematis tertuju pada penemuan dan
pengembangan suatu pengetahuan yang terorganisasi. Ada berbagai pandangan
mengenai research dari waktu ke
waktu. Berikut ini akan diuraikan beberapa di antaranya.
a.
Aristoteles
Aristoteles
yang dikenal sebagai bapak ilmu memandang penyelidikan ilmiah (research) sebagai suatu gerak maju dari
kegiatan-kegiatan observasi menuju pada penyusunan prinsip-prinsip umum dan
kembali pada observasi. Ilmuwan hendaknya menarik kesimpulan secara induktif
tentang prinsip-prinsip yang bersifat menerangkan dan bersumber dari
gejala-gejala yang diterangkan dan kemudia menarik kesimpulan secara deduktif
berupa pernyataan-pernyataan yang dijabarkan atau diturunkan dari premis-premis
atau dalil-dalil yang tercakup di dalamnya. Hal ini dikenal dengan prosedur
induktif – deduktif.
Melalui
induksi, generalisasi-generalisasi tentang bentuk ditarik dari pengelaman
penginderaan. Aristoteles menjelaskan bahwa induksi terdiri atas dua hal yaitu
perhitungan sederhana dan induksi intuitif. Dalam perhitungan sederhana,
pernyataan-pernyataan tentang hal atau peristiwa khusus diambil sebagai dasar untuk
sebuah kesimpulan umum tentang suatu spesies dengan hal atau peristiwa tersebut
menjadi anggota dari spesiesnya. Sedangkan induksi intuitif merupakan sebuah
insight atau kemampuan melihat apa yang esensial dari data atau pengalaman
penginderaan.
b.
Francis Bacon
(1560-1626)
Franscis Bacon
ingin membangun kembali ilmu baru dan dia menentang konsep-konsep tentang ilmu
dari Aristoteles. Menurutnya, jiwa rasional mempunyai tiga macam daya yaitu
daya ingatan, daya imajinasi, dan daya pikiran. Daya ingatan menciptakan
sejarah, daya imajinasi menciptakan puisi, dan daya pikiran menghasilkan
filsafat. Persyaratan pertama metode ilmiah adalah ilmuwan hendaknya mampu
membersihkan diri dari prasangka dan kecenderungan-kecenderungan agar kembali
bersih seperti anak yang baru lahir. Menurut Bacon, prinsip tentang metode baru
yang diperlukan untuk membangun ilmu meliputi dua hal yaitu induksi yang
bersifat progresif, gradual dan metode eksklusi (pengujian lebih lanjut
terhadap pengalaman. Metode esklusi ini dapat menghasilkan korelasi pokok yang
berbeda dengan korelasi-korelasi aksidental.
c.
Rene Descastes
(1596-1650)
Descastes
sependapat dengan Francis Bacon. Menurutnya hasil tertinggi dari ilmu
pegetahuan adalah piramida proposisi-proposisi dengan prinsip-prinsip umum
sebagai puncaknya.
d.
Issac Newton
(1642-1727)
Newton
tidak sependapat dengan Descartes. Dia menolak pandangan Descartes yang mencari
hukum-hukum fisika dasar dengan prinsip metafisika. Menurutnya, filosofi
tentang alam mendasarkan generalisasi-generalisasi pada suatu penyelidikan yang
cermat terhadap gejala-gejala alam. Newton menentang metode Cartesian Descartes
dengan cara menguatkan teori Aristoteles tentang prosedur induktif-deduktif. Dia
menamakannya sebagai metode analisis sintesis. Menurut Newton, metode ilmiah
hendaknya mencakup tahap induktif-deduktif.
e.
Herschel
Herschel
mengembangkan metode penyelidikan ilmiah dengan cara membedakan dengan tegas
antara pola penemuan (context of
discovery) dan pola pembenaran (context
of justification). Menurutnya ada dua cara yang dapat ditempuh oleh hukum
dan teori ilmiah yang bersumber pada observasi, yaitu melalui penggunaan skema
induktif dan melalui perumusan hipotesis. Pandangan ini memberikan pengaruh
terhadap pembedaan riset menjadi kualitatif dan kuantitatif.
Perkembangan Research
Abad ke 19
a.
John Stuart Mill
(1806-1873)
Filsafatnya
yaitu induktivisme. Dia merumuskan teknik-teknik induktif untuk menilai
hubungan antara kesimpulan dengan evidensi atau hal-hal yang menjadi sumbernya.
Menurutnya penyelidikan ilmiah adalah generalisasi induktif dari hasil-hasil
observasi dan eksperimen. Tujuan yang penting dari ilmu adalah pembuktian
hubungan sebab akibat.
b.
Philip Frank (1884-1966)
Baginya tujuan
yang penting dari ilmu adalah merumuskan sebuah interpretasi yang sistematis
tentang gejala dan tidak hanya menghimpun generalisasi-generalisasi secara deskriptif
yang tidak berkaitan.
c.
Ernest Mach
(1838-1916)
Ilmu hendaknya
tertuju pada menyusun sebuah deskripsi yang efisien tentang hubungan di antara
gejala-gejala.
d.
Henri Poincare
(1854-1912)
Menurutnya sebuah
hukum ilmiah dipandang benar tidak tergantung pada setiap keputusan didasarkan
pengalaman tetapi hanya menggambarkan keputusan tersirat dari para ilmuan dalam
menggunakan hukum sebagai konvensi yang bersifat menentukan maknadari sebuah
konsep ilmiah.
Perkembangan Research
Abad ke 20
a.
Percy Williams
Bridgman (1882-1961)
Orientasi metodologisnya
adalah operasionalisme yaitu sebuah pandangan tentang demarkasi konsep-konsep
ilmiah, sebuah pandangan yang bersumber pada tuntutan newton bahwa nilai
eksperimental hanya berhubungan dengan sifat-sifat yang nilainya dapat diukur.
b.
Karl Popper
Menurutya
metode empiris yang benar adalah yang terus menerus membuka sebuah interpretasi
yang mengandung kemungkinan adanya kepalsuan.
Referensi:
Ishak Abdulhak.
2012. Filsafat Ilmu Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Marsigit. 2014. Filsafat Matemaika. Yogyakarta: UNY
Press