Erni Kurnianingsih
Senin, 17 Februari 2020
Minggu, 16 Februari 2020
Senin, 22 Februari 2016
MODEL, STRUKTUR, DAN KONTEKSTUAL TABUNG
Istilah
tabung tentulah sudah tidak asing di telinga kita. Sejak SD sampai dengan SMA
kita belajar tentang tabung mulai dari pengertiannya sampai dengan volum dan
luas permukaannya. Selain itu, penerapan konsep tentang tabung ini juga banyak
kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalkan saja kaleng susu, kaleng cat,
ember, dan bahkan tabung LPG. Tabung yang dalam bahasa yunani dikenal sebagai kulindros beserta luas permukaan dan
volumnya sudah dikenal sejak lama. Seperti halnya objek matematika yang lain,
tabung sebagai objek berdimensi tiga juga hanya ada dalam pikiran kita. Untuk
itu, penampakan tabung hanyalah sebatas modelnya saja. Sejak SD kita menganal
tabung yang dimodelkan sebagai berikut.
Gambar 1
Tabung
merupakan suatu struktur. Untuk tabung yang seperti terlihat dalam gambar di
atas, kita dapat mendefinisikannya sebagai bangun ruang tiga dimensi yang
dibentuk oleh dua buah lingkaran identic yang sejajar dan sebuah persegi
panjang yang mengelilingi kedua lingkaran tersebut
(id.m.wikipedia.org/wiki/tabung_(geometri). Sementara itu, untuk pengertian
yang lebih luas tabung atau silinder didefinisikan sebagai suatu bangun
geometri yang permukaannya dibentuk oleh titik-titik yang berjarak sama dari
suatu garis lurus yang sudah diketahui. Garis tersebut dinamakan axis dari
tabung (en.m.wikipedia.org/wiki/cylinder_(geometry). Pada definisi yang
pertama, tabung hanyalah didefinisikan berdasarkan unsur-unsurnya saja, akan
tetapi untuk definisi kedua tabung didefinisikan secara lebih formal sesuai
dengan hakikatnya sebagai benda pikiran.
Tabung
terdiri dari beberapa komponen atau yang biasa dikenal dengan unsur-unsur
tabung. Seperti yang terlihat dari gambar 1, tabung memiliki tiga sisi yaitu
sisi atas, sisi bawah, dan juga sisi lengkung atau yang biasa disebut dengan
selimut tabung. Sisi atas dan sisi bawah membentuk daerah lingkaran yang
kongruen atau identik, sementara selimutnya berbentuk persegi panjang. Tabung
memiliki dua rusuk yang juga berbentuk lingkaran. Akan tetapi tabung tidak
memiliki titik sudut.
Jika menilik dari unsur-unsurnya,
tabung dapat pula dikatakan sebagai suatu prisma. Karena sama-sama memiliki
sepasang sisi yang sejajar dan dibatasi oleh satu sisi-sisi lain yang memotong
kedua sisi tersebut. Jadi, tabung merupakan prisma beraturan yang banyaknya
sisi tegak tidak terhingga.
Penggunaan tabung sudah ada sejak
zaman Babilonia dan Mesir Kuno, bahkan para raja dan ratu Mesir kuno menyimpan
perhiasannya dalam wadah berbentuk tabung. Para ilmuan pada masa itu sudah
mengenal volum tabung sebagai hasil perkalian dari luas alas dengan tingginya.
Euclid dalam bukunya Elements ke XI, Spatial
Geometri and Solids membahas tentang tabung. Menurutnya tabung (cylinder) merupakan hasil rotasi dari
suatu persegi panjang mengelilingi suatu sisi. Hal tersebut dapat dilihat dalam
gambar berikut.
Gambar 2
Seiring
dengan perkembangan zaman, penggunaan konsep tabung semakin meluas. Mulai dari
pembuatan roket, penggunaan tabung reaksi dalam laboratorium, bahkan sampai
alat-alat rumah tangga sekalipun, seperti tabung LPG, kaleng susu, kaleng
minuman, tempat minum anak-anak, penampungan air, dan lain sebagainya. Penggunaan
secara luas ini dikarenakan bentuk tabung yang lebih dapat memuat banyak isi
jika dibandingkan dengan kerucut maupun bola.
MODEL VOLUM TABUNG
Volum dan luas permukaan tabung sudah dikenal orang sejak
zaman dahulu. Kendati tabung merupakan benda pikiran, akan tetapi volumnya
dapat kita modelkan sebagai berikut.
|
|||
|
Senin, 15 Februari 2016
TIMELINE FENOMENA-FENOMENA HERMENEUTIKA
Pengertian
Hermeneutika dan Fenomona-fenomenanya
Unsur utama dalam kuliah matematika model adalah
hermeneutika. Hermeneutika (Marsigit, 2014: 180) adalah teori menafsir yang
dilandasi keyakinan bahwa adanya dunia tidak bergantung pada subjek diri. Adapun
fenomena dalam hermeneutika meliputi tiga hal yaitu
1. Fenomena membangun/ mengembang
Fenomena membangun atau mendatar dapat dicontohkan
yaitu hidup. Hidup ini selalu berkembang. Mulai dari manusia lahir sampai
dengan manusia mati dia akan selalu membengun dirinya baik melalui bantuan
orang lain maupun melalui upaya dari dalam dirinya sendiri. Membangun dalam
bahasa Inggris yaitu construct. Untuk
itu ketika kita berbicara tentang konsep membangun maka hal ini tidak terlepas
dari paham konstruktivisme. Menurut Surianto (2009) dalam konteks filsafat
pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup
yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi)
pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Untuk itulah
manusia dalam hidupnya selalu membangun pengetahuannya secara bertahap. Mulai
dari tidak bisa bicara manusia belajar berbicara, mulai dari tidak dapat berjalan
manusia belajar untuk berjalan, dan seiring dengan berkembangnya usia manusia
mengkonstruksi pikirannya untuk mempelajari hal-hal yang tidak diketahuinya
dalam hidup. Untuk itulah kenapa kehidupan manusia termasuk dalam fenomena yang
mengembang atau membangun.
2. Fenomena reguler/ mendatar
Contoh dari fenomena reguler atau mendatar adalah
rutinitas manusia sehari-hari. Manusia dihadapkan pada sebuah rutinitas yang
membuatnya menemui atau mengulang hal yang hampir sama. Misalnya manusia
dihadapkan pada fakta bahwa dia dari hari Selasa akan bertemu dengan hari
Selasa lagi. Hal ini dapat disikapi melalui dua pandangan yaitu pandangan
negatif dan pandangan positif. Dalam pandangan negatif, manusia akan merasa
bosan akan rutinitas tersebut. Akan tetapi jika dalam pandangan yang positif
maka manusia akan cenderung untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
telah diberi kesempatan dipertemukan dengan hari selasa lagi dimana dia
berharap dapat memperbaiki usaha yang telah dia lakukan Selasa lalu pada Selasa
yang akan datang.
3. Fenomena menukik
Salah satu contoh dari fenomena menukik adalah
research. Research atau riset menurut Ishak Abdulhak (2012: 95) diartikan
sebagai serangkaian kegiatan yang lebih sistematis tertuju pada penemuan dan
pengembangan suatu pengetahuan yang terorganisasi. Ada berbagai pandangan
mengenai research dari waktu ke
waktu. Berikut ini akan diuraikan beberapa di antaranya.
a.
Aristoteles
Aristoteles
yang dikenal sebagai bapak ilmu memandang penyelidikan ilmiah (research) sebagai suatu gerak maju dari
kegiatan-kegiatan observasi menuju pada penyusunan prinsip-prinsip umum dan
kembali pada observasi. Ilmuwan hendaknya menarik kesimpulan secara induktif
tentang prinsip-prinsip yang bersifat menerangkan dan bersumber dari
gejala-gejala yang diterangkan dan kemudia menarik kesimpulan secara deduktif
berupa pernyataan-pernyataan yang dijabarkan atau diturunkan dari premis-premis
atau dalil-dalil yang tercakup di dalamnya. Hal ini dikenal dengan prosedur
induktif – deduktif.
Melalui
induksi, generalisasi-generalisasi tentang bentuk ditarik dari pengelaman
penginderaan. Aristoteles menjelaskan bahwa induksi terdiri atas dua hal yaitu
perhitungan sederhana dan induksi intuitif. Dalam perhitungan sederhana,
pernyataan-pernyataan tentang hal atau peristiwa khusus diambil sebagai dasar untuk
sebuah kesimpulan umum tentang suatu spesies dengan hal atau peristiwa tersebut
menjadi anggota dari spesiesnya. Sedangkan induksi intuitif merupakan sebuah
insight atau kemampuan melihat apa yang esensial dari data atau pengalaman
penginderaan.
b.
Francis Bacon
(1560-1626)
Franscis Bacon
ingin membangun kembali ilmu baru dan dia menentang konsep-konsep tentang ilmu
dari Aristoteles. Menurutnya, jiwa rasional mempunyai tiga macam daya yaitu
daya ingatan, daya imajinasi, dan daya pikiran. Daya ingatan menciptakan
sejarah, daya imajinasi menciptakan puisi, dan daya pikiran menghasilkan
filsafat. Persyaratan pertama metode ilmiah adalah ilmuwan hendaknya mampu
membersihkan diri dari prasangka dan kecenderungan-kecenderungan agar kembali
bersih seperti anak yang baru lahir. Menurut Bacon, prinsip tentang metode baru
yang diperlukan untuk membangun ilmu meliputi dua hal yaitu induksi yang
bersifat progresif, gradual dan metode eksklusi (pengujian lebih lanjut
terhadap pengalaman. Metode esklusi ini dapat menghasilkan korelasi pokok yang
berbeda dengan korelasi-korelasi aksidental.
c.
Rene Descastes
(1596-1650)
Descastes
sependapat dengan Francis Bacon. Menurutnya hasil tertinggi dari ilmu
pegetahuan adalah piramida proposisi-proposisi dengan prinsip-prinsip umum
sebagai puncaknya.
d.
Issac Newton
(1642-1727)
Newton
tidak sependapat dengan Descartes. Dia menolak pandangan Descartes yang mencari
hukum-hukum fisika dasar dengan prinsip metafisika. Menurutnya, filosofi
tentang alam mendasarkan generalisasi-generalisasi pada suatu penyelidikan yang
cermat terhadap gejala-gejala alam. Newton menentang metode Cartesian Descartes
dengan cara menguatkan teori Aristoteles tentang prosedur induktif-deduktif. Dia
menamakannya sebagai metode analisis sintesis. Menurut Newton, metode ilmiah
hendaknya mencakup tahap induktif-deduktif.
e.
Herschel
Herschel
mengembangkan metode penyelidikan ilmiah dengan cara membedakan dengan tegas
antara pola penemuan (context of
discovery) dan pola pembenaran (context
of justification). Menurutnya ada dua cara yang dapat ditempuh oleh hukum
dan teori ilmiah yang bersumber pada observasi, yaitu melalui penggunaan skema
induktif dan melalui perumusan hipotesis. Pandangan ini memberikan pengaruh
terhadap pembedaan riset menjadi kualitatif dan kuantitatif.
Perkembangan Research
Abad ke 19
a.
John Stuart Mill
(1806-1873)
Filsafatnya
yaitu induktivisme. Dia merumuskan teknik-teknik induktif untuk menilai
hubungan antara kesimpulan dengan evidensi atau hal-hal yang menjadi sumbernya.
Menurutnya penyelidikan ilmiah adalah generalisasi induktif dari hasil-hasil
observasi dan eksperimen. Tujuan yang penting dari ilmu adalah pembuktian
hubungan sebab akibat.
b.
Philip Frank (1884-1966)
Baginya tujuan
yang penting dari ilmu adalah merumuskan sebuah interpretasi yang sistematis
tentang gejala dan tidak hanya menghimpun generalisasi-generalisasi secara deskriptif
yang tidak berkaitan.
c.
Ernest Mach
(1838-1916)
Ilmu hendaknya
tertuju pada menyusun sebuah deskripsi yang efisien tentang hubungan di antara
gejala-gejala.
d.
Henri Poincare
(1854-1912)
Menurutnya sebuah
hukum ilmiah dipandang benar tidak tergantung pada setiap keputusan didasarkan
pengalaman tetapi hanya menggambarkan keputusan tersirat dari para ilmuan dalam
menggunakan hukum sebagai konvensi yang bersifat menentukan maknadari sebuah
konsep ilmiah.
Perkembangan Research
Abad ke 20
a.
Percy Williams
Bridgman (1882-1961)
Orientasi metodologisnya
adalah operasionalisme yaitu sebuah pandangan tentang demarkasi konsep-konsep
ilmiah, sebuah pandangan yang bersumber pada tuntutan newton bahwa nilai
eksperimental hanya berhubungan dengan sifat-sifat yang nilainya dapat diukur.
b.
Karl Popper
Menurutya
metode empiris yang benar adalah yang terus menerus membuka sebuah interpretasi
yang mengandung kemungkinan adanya kepalsuan.
Referensi:
Ishak Abdulhak.
2012. Filsafat Ilmu Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Marsigit. 2014. Filsafat Matemaika. Yogyakarta: UNY
Press
Surianto. 2009. Teori
Pembelajaran Konstruktivisme, https://surianto200477.wordpress.com/2009/09/17/teori-pembelajaran-konstruktivisme/ diakses pada tanggal 13 Februari 2016 pukul 10.20.
Selasa, 19 Januari 2016
[TUGAS UAS] Filsafat Memandang Bahagia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kebahagiaan merupakan hal yang diidam-idamkan oleh setiap
manusia. Tak ayal jika manusia berbondong-bondong melakukan segala upaya dan
usaha yang bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan. Akan tetapi, kebahagiaan
untuk satu orang dengan orang lainnya tidaklah sama. Ada orang yang bahagia
karena keluarga yang harmonis, ada yang bahagia karena memiliki banyak harta,
ada yang bahagia karena pangkat dan kedudukannya, dan lain sebagainya. Seiring
dengan perkembangan zaman, sumber kebahagiaan orang mulai bergeser. Kebanyakan
manusia modern merasa bahagia jika mereka dapat memiliki materi yang banyak.
Terutama di zaman sekarang ini dikala pengaruh power now tidak mampu lagi kita bendung. Banyak produk-produk dari
luar dengan berbagai merk, teknologi-teknologi baru yang menggiurkan dan
mempermudah pekerjaan manusia, dan kegiatan-kegiatan kaum hedonis yang hanya
menampilkan sisi glamor dan kesenangan semata, membuat manusia merasa bahagia
jika mereka dapat memiliki uang yang banyak dan materi yang melimpah. Hal ini
terkadang membuat manusia melakukan persaingan-persaingan yang tidak sehat dan
justru dapat membuat mereka tidak bahagia. Lantas, timbulan pertanyaan,
benarkan kebahagiaan yang bergantung pada uang adalah kebahagiaan yang
sebenarnya? Untuk itu, penulis ingin mencoba menguraikan bagaimana filsafat
memandang arti suatu kebahagiaan.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas
adalah “bagaimana filsafat memandang suatu kebahagiaan yang sebenarnya?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan makalan ini adalah untuk
mendeskripsikan bagaimana filsafat memandang suatu kebahagiaan yang sebenarnya.
BAB II
ISI
A. Masyarakat
Memandang Bahagia
Jika kita berbicara tentang bahagia, tentunya hal tersebut tidak dapat
dilepaskan dari kondisi masyarakat saat ini. Kebahagian merupakan hal yang
esensial bagi manusia. Tanpa kebahagiaan, kehidupan manusia akan hampa dan
tidak ada keharmonisan dalam hidup. Banyak cara yang ditempuh agar manusia
dapat merasakan bahagia. Jika kita melihat pola kehidupan manusia modern saat
ini, kebanyakan merasa bahagia jika memiliki uang atau harta yang banyak.
Mereka bekerja keras siang dan malam agar kebutuhan mereka tercukupi, sehingga
mereka tidak akan takut akan hari esok dan mereka akan merasa bahagia. Akan
tetapi, dalam proses memperoleh kebahagiaan tersebut mereka justru mengorbankan
kebahagiaan lain yang ternyata lebih hakiki daripada sekedar harta. Dalam hal
ini, mereka sibuk bekerja dan mengabaikan keluarga, padahal berkumpul bersama
keluarga dan saling berbagi perasaan merupakan sumber kebahagiaan yang tak
ternilai harganya. Jika kita melihat fenomena ini, kita akan dapati bahwa
semakin mereka berusaha mencari kebahagiaan semakin mereka tidak akan
memperoleh kebahagiaan itu. Hal ini senada dengan pendapat Hendrik Ibsen
seorang filsuf dari Norwegia yang mengatakan bahwa kita belum mencapai bahagia
sebab tiap-tiap jalan yang ditempuh menjauhkan kita daripadanya. Jika kita
kaji, pendapat ini merupakan pendapat yang mengandung sikap putus asa. Akan
tetapi memang begitulah keadaannya jika manusia hanya mengejar harta untuk
memperoleh kebahagiaan.
Selanjutnya, dalam bekerja siang dan malam tersebut terkadang manusia
juga dihadapkan pada persaingan-persaingan agar dapat memperoleh keuntungan
maupun pendapatan yang lebih besar. Di dalam persaingan tersebut terkadang ada persaingan
yang tidak sehat sehingga bukannya kebahagiaan yang mereka peroleh melainkan
pikiran yang frustasi dan tekanan yang diperoleh dari berbagai arah. Hal ini
tentu sangat kontradiksi, usaha dan tujuan tidak searah.
Selain contoh di atas, dalam kehidupan sekolah biasanya orang tua akan
merasa bahagia jika anak mereka memperoleh nilai yang bagus dan berhasil
menjadi juara satu. Orang tua tidak menyadari bahwa ada hal yang lebih penting
yang seharusnya diperoleh oleh anak-anak mereka daripada hanya sekedar nilai
yang bagus dan peringkat yang membanggakan. Anak-anak sekolah untuk belajar,
dan belajar itu tidak melulu masalah nilai formal. Sopan santun, adab dalam
kehidupan, nilai-nilai kejujuran dan kebaikan, semua itu jauh lebih penting
daripada sekedar nilai yang bagus maupun juara satu. Lalu jika ditanya, apakah
anak-anak akan merasa bahagia jika mereka bisa mendapat juara satu tetapi tidak
memiliki teman? Ataukah orang tua akan bahagia jika anaknya mendapat nilai 100
di pelajaran matematika tetapi diperoleh dengan cara berbohong atau mencontek?
Tentu hal tersebut bukan merupakan sumber kebahagiaan yang sebenarnya.
Dari kedua contoh di atas, dapat dipahami bahwa sebenar-benar bahagia
itu terletak pada ranah normatif, bahagia itu masalah hati. Jika masyarakat
zaman sekarang memandang bahagia sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
material maupun formal, tentunya hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari
kebahagiaan itu sendiri. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh power now yang saat ini sudah mulai
masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Para ilmuan negara maju
menciptakan berbagai macam alat yang mempermudah pekerjaan kita, sehingga
manusia cenderung tergantung pada alat-alat tersebut dan tidak memanfaatkan
potensi mereka dengan sebaik-baiknya. Masyarakat menjadi konsumtif akan barang-barang
tersier layaknya handphone (HP)
maupun gadget-gadget keluaran terbaru
tanpa memandang fungsi mereka dan hanya ikut-ikutan tren saja. Mereka merasa
bahagia jika mampu memiliki barang-barang mewah tersebut. Masyarakat lebih suka
nongkrong di café-café dan mall yang notabene merupakan sarana untuk
menghambur-hamburkan uang daripada berinteraksi bersama tetangga maupun
keluarga dan memahami keadaan sekitar mereka. Hal ini membawa masyarakat pada
kehidupan hedonis yang membutuhkan uang yang banyak. Tentunya hal tersebut
telah menggeser nilai kebahagiaan dari normatif menjadi material. Mereka tidak
lagi peduli apakah keberadaan mereka berguna bagi masyarakat di sekitar mereka
atau tidak. Lalu muncullah masyarakat-masyarakat yang individualis. Jika sudah
seperti ini, maka kebahagiaan akan lebih sulit untuk diperoleh karena sebelum
mereka memperoleh uang yang banyak atau harta yang mereka inginkan, mereka
belum akan bahagia.
B. Bahagia
Datangnya Dari Hati
Jika kita menilik kembali, bahagia itu adalah masalah hati.
Manusia dapat saja menentukan sumber kebahagiaannya akan tetapi, semua itu
kembali kepada hati nurani masing-masing orang. Di dalam hati manusia itu
terdapat berbagai macam hal dimana semua hal itu tidak mampu untuk kita
pikirkan. Begitu juga dengan kebahagiaan. Kita dapat merasakannya akan tetapi
kita tidak akan pernah mampu untuk memikirkannya. Kita dapat menentukan bahwa
kita bahagia jika memiliki uang yang banyak, mobil mewah, istri cantik atau
suami tampan, rumah megah, dan tanah yang luas. Akan tetapi kebahagiaan kita
yang sebenarnya tergantung pada hati kita. Ketika kita memiliki uang yang
banyak tetapi selalu khawatir jika uang itu akan habis dan hilang maka kita
menjadi tidak bahagia. Ketika kita memiliki istri atau suami yang menarik, akan
tetapi kita diliputi rasa khawatir jika dia akan selingkuh maka kebahagiaan
kita akan hilang. Ketika kita memiliki mobil mewah tetapi takut memakai karena
takut akan tergores, maka kita tidak jadi bahagia. Untuk itu, kebahagiaan yang
sebenarnya adalah yang berasal dari hati. Kebahagiaan sebenarnya adalah jika
hati kita senantiasa mampu untuk ikhlas menghadapi segala yang terjadi dan
memasrahkan diri pada Tuhan setelah melakukan usaha yang maksimal.
Seperti halnya aspek yang lain, untuk memperoleh
kebahagiaanpun meliputi hal yang vital dan vatal. Tentunya untuk menggapai
bahagia kita perlu usaha, akan tetapi usaha tersebut sebaiknya tidak berlebihan
karena jika berlebihan hanya akan mendatangkan ketidakbahagiaan bagi kita.
Setelah berusaha yang maksimal kita harus memasrahkan segala keputusan pada
Tuhan. Ikhlaskan segala keputusan pada kehendakNya, karena dengan begitu hati
kita akan tentram dan kita tetap akan bahagia apapun hasil yang akan diperoleh.
Lalu, apakah pikiran tidak memiliki peranan dalam
menentukan kebahagiaan seseorang? Hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Salah
satu aspek yang juga menentukan kebahagiaan kita adalah pikiran kita. Bahkan
derajat kebahagiaan kita ditentukan oleh derajat akal kita. Kita dapat
menentukan mana yang akan menjadi sumber kebahagian akan tetapi nantinya hasil
pemikiran kita akan disaring oleh hati agar kebahagiaan yang kita peroleh
adalah kebahagiaan yang hakiki. Untuk itu, akan sangat baik jika kita mampu
untuk membersihkan hati dan mempertajam pemikiran kita sehingga nantinya kita
mampu untuk menggapai kebahagiaan yang sejati.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa, sebenar-benar bahagia itu berada dekat dengan
diri manusia sendiri. Kita bisa saja memandang kebahagiaan orang lain dan ingin
memiliki kebahagiaan yang sama, akan tetapi kebahagiaan yang kita peroleh
bukanlah kebahagiaan kita yang sebenarnya. kebahagiaan yang sebenarnya adalah
kebahagiaan yang berasal dari hati dan pikiran kita masing-masing yang
dilandasi oleh keikhlasan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebahagiaan
ada di dalam diri kita masing-masing.
Langganan:
Postingan (Atom)